Minggu, 15 Juli 2018

MUARA di Bulan JUNI - Peracik Rindu

Pagi ini, entah karena angin apa, atau mungkin karena baru saja membaca tulisan seorang teman tentang isi hati, maka dengan mudahnya pikiranku kembali bermuara pada awal mula kita mengapikkan rasa.

Sebenarnya lagi-lagi aku dihadapkan dengan perasaan tak menentu.
Sebelumnya pernah ada perasaan yang mirip seperti ini, tapi tak sebesar rasa saat ini. Kau tahu, ini berbeda. Kalau dulu,  delapan tahun yang lalu pernah ada gadis kecil yang lugu mengagumi seorang kakak kelasnya, hingga kekaguman itu tumbuh menggelisahkannya, gadis itu hanya diam memendam. Saat ini, gadis itu tak sekecil dan selugu dulu, memiliki Kekaguman yang tumbuh entah sejak kapan, yang pasti tanpa ia sadari kau hadir pada setiap detik waktu kosongnya. Menampakkan wajah dan senyum manis dipikirannya tanpa permisi. Gadis itu berani, tak diam memendam.

Kalau dulu ada gadis kecil yang lugu dengan riang menceritakan tentang perasaannya -terhadap kakak kelasnya- kepada teman-teman dan sahabatnya. Kini ada gadis tak sekecil dulu yang dengan bahagia menceritakan tentang perasaannya -terhadap seseorang yang dengan mudah merebut hatinya- kepada saudaranya sendiri.

Kalau dulu, dua tahun yang lalu ada gadis yang diam-diam mengangumi salah seorang senior di universitasnya. Kini, entah sejak kapan gadis itu tak diam meletakkan perasaannya pada salah satu temannya.

Teman. Mungkin itu kata yang tepat, tapi setelah beberapa waktu mungkinkah kata 'Teman' mendapatkan tambahan katanya?
'Teman Hidup' mungkin 😅😂 ----->SKIP<------

Kau tahu, saat itu bumi sedang diguyur hujan. Tepat pada hari pertama di bulan Juni, seperti kata Sapardi, Hujan di bulan Juni. Aku dengan wajah penuh tekukkan menyesalkan hujan harus turun sore itu. Sebab sore itu adalah waktuku untuk berbuat kebaikan dan berbagi kebahagiaan bersama teman-teman baruku, sebut saja seperti itu. Semuanya gagal karena hujan bulan Juni milik pak Sapardi.

Kau tahu, tanpa ada yang merencanakan, sore itu berakhir dengan percakapan tentang perasaan antara aku dan sahabatku. Kuceritakan tentang seseorang dan ia juga menceritakan tentang seseorang. Awalnya kami tak menyebutkan nama, tapi karena penasaran, secara bersamaan kami menyebutkan nama masing-masing orang yang kami ceritakan, dengan syarat cukup berhenti pada kami, tak ada orang lain lagi yang tahu. Maka, sore itu, bersama Hujan bulan Juni milik Kakek Sapardi, kusebutkan namamu dihadapan sahabatku, dan kudengarkan nama seseorang yang disebutkan pula oleh sahabatku. Maka, lengkaplah, semesta tahu perihal seseorang yang ternyata mengganggu pikiranku dan tanpa permisi  memasuki ruang hatiku.

Masih kuingat tawa sahabatku sejenak ketika mendengar namamu kusebutkan. Dan pada detik berikutnya, kudengar notice WhatsApp darimu. Katamu, kau ingin menyampaikan sesuatu. Kukatakan, kau menyebalkan, kau dan beberapa orang itu menyebalkan. Kenapa kukatakan seperti itu? Sebab kita sudah bercakap-cakap dalam waktu yang lama dan dipertengahan baru kau meminta izin, itu bodoh, kau tahu. Itu seperti masuk dalam rumah orang tanpa permisi, nanti setelah makan kue dan berbagi rindu dengan orang itu, barulah kau memohon izin untuk masuk ke rumahnya, apasih.

Oke next. Setelah kuizinkan, entah mengapa saat itu juga aku memiliki firasat yang aneh. Kukatakan pada sahabatku bahwa saat ini aku sedang chat denganmu, dan melihat kau sedang mengetik, membuatku secara otomatis deg-degan 😅

Selanjutnya. Seperti mendapatkan bom atom, atau rewards bombastis yang mengejutkan, aku dibuat tak berkutik dalam sekejap olehmu. Oleh tulisanmu. Sore itu, detik itu juga, dalam tulisanmu kau menyatakan perasaanmu, dengan alibi meminta maaf dan menyalahkan rasamu. Tanpa tahu, ada hati yang meloncat kegirangan melebur bersama hujan bulan Juni sore itu. Kau tak akan pernah tahu seberapa kuat dentuman bigbang di hati gadis yang dulu lugu itu.

Sore itu berakhir dengan kebimbangan. Perasaan penuh kedilemaan. Gadis itu tak pernah berhenti berpikir keras sejak sore itu. Sore milik Sapardi, Hujan di bulan Juni menjadi milik gadis itu, Muara di bulan Juni.

Jumat, 18 Mei 2018

WARNA DI JEONJU - Cerpen ke sebelas tahun 2016

WARNA DI JEONJU
Oleh: Hasna Hasanuddin

Mentari menyapu bersih sisa-sisa gerimis pagi itu, walaupun masih ada gemercik
tetes air yang jatuh menimpa genangan air dibawahnya. Tetes-tetes itu seakan bergembira
meninggalkan atap dan melompat indah membasahi tanah. Gadis itu memperbaiki posisi
duduknya. Jalan raya masih lengan di pagi hari kota seoul.
“Pak, Jeonju Hanok Village,” ucap gadis itu, sambil memperlihatkan gambar
tujuannya kali ini. Hari ini adalah hari kedua Yana berada di Seoul, Ibu kota korea selatan.
Terlalu banyak alasan yang membuat Yana harus mengunjungi negeri gingseng itu.
Ia masih sangat mengingat perpisahannya dengan adik, orang tua, dan kedua
sahabatnya di bandara dua hari yang lalu.
“Pa, nanti Aku sendiri dong di rumah, pasti sepi gak ada kakak.” Rengek adik Yana,
dua puluh menit sebelum keberangkatannya. Yana tahu, alasan sebenarnya adiknya bukanlah
karena kesepian, tetapi karena Ia juga sangat ingin mengunjungi negeri tempat aktor dan
aktris kesayangannya itu.
“nggak bisa de, kamu kan masih dalam proses pengobatan.” Jawab Yana halus, tak
ingin menyakiti hati adiknya. Berbeda dengan biasanya, Yana yang tanpa perasaan sering
menjaili dan menakut-nakuti adiknya. Hari itu perasaan itu harus dihilangkannya, kalau tidak
adiknya akan merengak untuk ikut bersamanya dan mengacaukan semuanya.
“De, kamu gak takut ke rumah sakit?” tanya Yana suatu ketika memulai aksi jailnya,
“kalau di rumah sakit itu banyak benda tajam buat orang kesakitan,” lanjut Yana memasang
ekspresi jail, seperti biasa.
Sementara adiknya hanya diam, fokus memainkan game kesukaannya.
“Apalagi suntik itu De, sakit lo, sakit banget.” Yana tak putus asa menakut-nakuti
adiknya.
“Kalau sakit, tinggal teriak aja,” Jawab adiknya enteng, membuat Yana jatuh tertawa
terpingkal-pingkal mendengar jawaban adiknya.
Sederhana, dan masuk akal. Merasa usahanya gagal dan kehabisan akal, Yana
akhirnya berhenti. Memilih menyelesaikan tugasnya yang lain.

“Na, jangan lupa kontak kita, WA, Line atau apapun,” ucap Irin, salah satu sahabat
Yana, setelah Ia berpamitan dengan adik dan kedua orang tuanya.
Yana hanya mengangguk kemudian kembali merangkul kedua sahabatnya.
“Senang-senang disana Na, lupain masalah di sini,” kali ini Tika membuka suara,
sahabat Yana yang kedua. Ia berusaha menenangkan hati sahabatnya yang ia tahu beberapa
minggu lalu patah hati.
Yana mengangguk, kemudian tersenyum. Ia melambaikan tangan, berjalan menuju
antrian pengecekan tiket dan pemeriksaan keamanan.
Perjalanan menuju kota Jeonju, provinsi Jeolla Utara (Jeollabuk-do), korea selatan,
sekitar tiga jam perjalanan dari kota Seoul. Merasa bosan dalam perjalanan, Yana
mengeluarkan notebook milikinya, membaca sedikit artikel mengenai Kota yang akan
dikunjunginya kali ini.
Setelah puas membaca beberapa artikel, Ia kemudian melihat-lihat makanan khas
yang berasal dari kota itu, Bimbimbap misalnya. Yana baru saja tiba di halaman, kebudayaan
dan kerajinan tradisional Jeonju, saat tiba-tiba mobil yang dinaiki Yana menepi. Mereka
sudah tiba di Jeonju.
Yana bergegas turun. Bibirnya tak henti-hentinya mengulum senyum melihat
pemandangan di depan matanya. Melihat rumah-rumah yang begitu mirip dengan yang
ditampilkan dalam serial drama korea yang biasa Ia nonton bersama kedua sahabatnya. Yana
segera mengeluarkan kamera Nikon yang dibawanya. Mengambil gambar sepuasnya, sambil
melangkah pelan.
Yana tak sendiri ketika tiba di Jeonju. Seorang pemandu telah menunggunya di depan
salah satu rumah hanok. Pemandu telah mengkonfirmasi tempat-tempat yang akan mereka
kunjungi, diantaranya Pungnammun Gate, Gyeonggijeon, Omokdae Pavilion, Jeonju
Hyanggyo. Selain itu, pemandu Yana juga mengatakan akan mengantar Yana mengunjungi
restauran, kedai teh tradisonal, toko souvenir dan aneka workshop Jeonju.
Yana melangkah cepat, tak sabar menemui pemandu wisatanya. Ia masih ingat
deskripsi mengenai tempat pertemuan dan detail pakaian pemandu itu.

“Hello Miss Yana?” ucap seseorang dari belakang Yana, ketika melihat Yana
celingak-celinguk mencari seseorang.
“yes, I am,” jawab Yana sedikit canggung.
Seorang pemuda tampan menyapanya. Pemuda itu memakai setelah kemeja biru
langit dan celana hitam. Mata birunya menatap Yana penuh selidik, namun sedetik kemudian
mengulum senyum.
“Arya Saputra,” pemuda itu mengulurkan tangan.
Tampan, cerdas, berwawasan sudah pasti, dan yang lebih penting Indonesia tulen
dari namanya. Pikir Yana.
“Aliyana Safitri,” Yana membalas senyum pemuda itu.
Perkenalan singkat itu berlanjut menjadi percakapan yang ringan. Arya sedikit
menjelaskan tentang dirinya bahwa Ia hanya pemuda biasa yang telah menyelesaikan
pendidikannya di BC Information Technologi, kemudian mengambil pendidikan khusus,
kursus dan mendapatkan lisensi menjadi pemandu wisata. Sesekali Arya juga bertanya
menegani Yana, pendidikan, tentang indonesia dan tujuan Yana mengunjungi Jeonju.
“Jeonju Hanok Village memiliki lebih dari 700 rumah hanok yang kebanyakan
dibangun pada masa Dinasti Joseon (1392-1910). Desa Hanok, merupakan salah satu desa
yang paling terjaga kelestariannya. Meskipun desa tradisional, Jeonju Hanok Village
memiliki transportasi dan jalan utama yang modern seperti halnya kota besar.” Jelas Arya,
Yana mengangguk mendengar penjelasan Arya sambil sesekali mengambil gambar. Ia
juga beberapa kali meminta Arya untuk mengambil gambar dirinya bersama beberapa tempat
penting.
Hingga keduanya pun tiba di bagian akhir dari Jeonju. Wisata kuliner Jeonju. Arya
dan Yana mengunjungi beberapa restoran, mencicipi kuliner khas korea dan mengunjungi
kedai teh tradisional. Yana juga menyempatkan diri untuk praktek meditasi dan etika minum
teh.
“Kamsahamnida,” ucap Yana diakhir pertemuan mereka.

“Aniyo, Tidak perlu seformal itu, santai saja, saya juga asli indonesia, salam kenal
Yana.” Ucap Arya ketika mendengar ucapan terima kasih yana.
“Permisi,” ucap yana lagi, mengulum senyum, kemudian memasuki taksi yang sama
yang Ia tumpangi tadi pagi.
Negeri gingseng itu tidak seburuk yang Yana pikirkan. Terlalu banyak kenangan
buruk, tetapi pertemuan itu seakan meluruhkan segalanya. kenangan buruk itu terlalu kecil
untuk menjadi alasan bahwa Yana tidak bahagia dalam pertemuan itu. Sebaliknya, yana
sangat bahagia. Rupanya Jeonju memberi kesan bahagia bagi Yana. Tidak hanya jeonju,
tetapi juga pemuda itu, Arya Saputra.
Pertemuan hari ini seperti gerimis pagi tadi, terlalu cepat tetapi tetap memberi bekas
di tanah menandakan bahwa gerimis baru saja turun. Ucap Yana dalam hatinya.

Kamis, 17 Mei 2018

Tragedi Kepergian


Waktu kecil, aku tidak pernah percaya dengan kepergian. Tak pernah mempercayai kesendirian, tapi waktu menunjukkan itu semua.
Saat usiaku enam tahun, dengan berat hati kedua orang tuaku menitipkan aku pada nenek untuk sekolah, sementara ayah-ibuku kembali ke kampung halaman. Sejak saat itu aku percaya perpisahan, kepergian dan kesendirian. Tapi sebatas itu, karena aku juga percaya akan ada perjumpaan, akan ada temu, melepas rindu dan kembali.

Tapi waktu kembali mengenalkan aku pada hal baru. Tentang kepergian yang hakiki, tentang kepergian tanpa perjumpaan. Tentang kepergian tanpa temu, menyisakan rindu dan mengikis air mata. katanya itu adalah pulang yang sejati. Kembali pulang pada-Nya.

Semula aku tak percaya, tak pernah percaya dengan kematian, tetapi tahun demi tahun, orang-orang disekitarku beranjak pergi. Memaksaku untuk menerima dan percaya bahwa kematian benar adanya, serta tak ada perjumpaan setelah itu. Waktu memaksaku untuk mempercayai itu semua. Semula kupikir terlalu kejam, bahkan aku belum sempat memikirkannya tapi telah dipaksa untuk percaya. Waktu berkuasa atas segalanya, benar-benar tak ada ampun, semuanya harus pergi, satu persatu, tanpa pamit.

Rasanya napasku telah habis, memagut harap untuk itu. Tak ada, ini benar-benar nyata. Kepergian yang hakiki. Seperti itu kiranya. Karena hidup sejatinya adalah perjalanan dan dalam perjalanan kita akan kembali pulang pada-Nya.

Kali ini perih itu kembali. Kepergian yang hakiki itu kembali. Menguatkan yang kuat. Mengajari yang lemah, bahwa kekuatan yang sebenarnya adalah penerimaan.

Oma.
Parigi, Rabu 09 Mei 2018
--------------------------------------------------------------------
Selamat jalan. Selamat berpisah.
Biarkan doa dan air mata mengantarmu. Berbahagialah sebab aku berbesar hati.


Selasa, 08 Mei 2018

Puisi

TAK AKAN PERNAH

Karena lama telah menjadi pantang
Dan waktu kita tak seberharga dulu
Ia telah memiliki pemiliknya masing-masing
Bahkan sekedip tak memadu lagi

Nada tak ingin bersua
Dan gurau lebih terasa berat
Katanya ini bukan apa-apa
Karena memang bukan apa-apa
Dan belum jadi apa-apa

Maka jelaslah
Hal ini tak pernah jelas sedari awal
Bahkan sebelum dimulai
Karena ini tak akan pernah dimulai
Tak akan pernah

Peracik Rindu.
Malam kelabu, kamar tidur.
22.34, Selasa, 10 April 2018
Palu.

Puisi

Tak Bertuan

Kau tak kan pernah tahu
Siapa yang terbelenggu menahan rindu
Kau tak pernah tahu
Siapa yang paling tersiksa menahan suka
Kau tak pernah tahu
Siapa yang paling menderita membenarkan rasa
Kau tak pernah tahu
Siapa yang paling resah dalam menatap mata
Kau tak pernah tahu
Siapa yang terbenam dalam jeritan mendengar sapaan nada
Kau tak pernah tahu
Siapa wanita yang menyebutmu dalam doa
Dan kau takkan pernah tahu
Bahwa dia ada di dekatmu.
Tapi aku mau kamu tahu
Bahwa akulah sang pemilik rindu

Peracik rindu
Rabu 25 April 2018

Minggu, 01 April 2018

April, bulan Yang Menggugah Selerah

         Bismillah. Aku hanya mau melanjutkan catatan bising milikku.

          Oiya, sebelumnya selamat datang April. Ada yang bilang jangan mengucapkan, jangan menyambutnya. Dia tak akan dengar. Percuma. Tak apa, aku hanya berucap saja.

          Dengan demikian bisa kumulai tulisan ini. Sekian lama aku tak menulis, cerpen mampet, novel pun terhambat. Jangankan  itu, bahkan puisi tak terbesit lagi dipikaranku. Membaca saja jarang, benar-benar telah kulupa aksaraku. Tapi ini bulan april. Bulan penuh keajaiban, menurutku. Bahkan hingga diujung malam, hari pertama bulan ini, aku masih meratap.

          Aku mungkin bukan yang dulu lagi. Bukan Hasna yang terlalu cuek, terlalu pemalas tapi masih ada tersisa dari diriku yang dulu. Apa itu? Dialah semangat. Aku masih menyimpannya. Meski sudah luntur, tapi masih kusimpan. Percayalah.

        Hai, April. Ada yang menyebutmu, bulan horror, bulan penuh kesibukan dan bulan penuh kejutan. Tak perlu kusebutkan siapa dia. Cukup kau tahu? Dan kau tahu mengapa mereka menyebutmu begitu? Kau tentu tahu dan tak asing lagi dengan kata “April Mop”. Ya dua kata itulah yang menjadi penyebab lahirnya gelar-gelar untukmu, April. Beberapa orang menganggap segalanya sebercanda itu, tapi lihatlah efeknya. Tak ada yang tahu pasti.

         Tak ada yang tahu pasti bagaimana perasaan gadis muda yang bahagia ditembak oleh pria dan dengan mudahnya pria itu berkata, “April Mop” padahal gadis itu sudah amat bahagia. Tak ada yang tahu pasti bagaimana perasaan seorang pria yang sudah dibuat pusing oleh kekasihnya, dan dengan alasan ‘April Mop’ kekasihnya tertawa keras. Tak ada yang tahu bagaimana seorang kawan menderita oleh temannya sendiri dan dengan merasa lucu temannya berucap “April Mop”.

           Tak ada yang tahu perasaan seorang ibu yang sudah marah-marah karena ulah anaknya kemudian sebercanda itu anaknya berteriak “April Mop”. Tak ada yang tahu pasti bagaimana kakak-beradik yang bertengkar kemudian salah satunya terjebak oleh “April Mop” atau seorang ayah yang sudah bersusah payah, buru-buru pulang ke rumah Karena sesuatu hal yang ternyata adalah jebakan april mop. Tak ada yang tahu pasti.

          Tetapi satu hal yang pasti. Bahwa kini, bulan april menjadi bulan yang horror sekaligus kejutan. Tidak hanya itu, dibalik kejutan-kejutan ada hal-hal mengerikan yang tak pernah terbesit sedikit pun. Tak pernah terbesit bahwa kini gadis yang pernah tertipu itu menjadi phobia laki-laki ataupun keras hati terhadap janji-janji. Tak akan pernah pecaya lagi sedikitpun dengan perkataan pria. Siapa yang tahu? Siapa yang memikirkan trauma apa yang menimpa korban April Mop?

          Tak pernah terbesit bahwa kini pria yang pernah dibuat pusing oleh kekasihnya ketika april mop menjadi pecandu aktif obat penenang. Bahkan menjadi pecandu obat-obatan dibawa asuhan psikiater. Tak pernah terbesit bahwa kini kawan yang mederita itu makin menderita dan menjadi orang pesimis. Tak pernah terbesit bahwa ibu yang marah-marah itu kini menjadi seorang pemarah dan lebih menyebalkan lagi.

          Tak pernah terbesit bagaimana permusuhan bahkan dendam yang terjadi antara kakak-beradik itu, bahkan mungkin saling membunuh. Tak ada yang tahu.
Dan tak pernah terbesit bagaimana kesedihan keluarga, karena ditinggal oleh seorang ayah yang terburu-buru kemudian kecelakaan. Perihal “April Mop” jangan sepelekan. Jika jiwa, raga bahkan nyawa menjadi taruhan, dapatkah sebercanda itu?

         Ahhhh… pikiranku semrawut. Maafkan aku, April. Sungguh, aku tak bermaksud melukaimu. Tapi orang-orang itulah yang berulah. Tapi kau akan tetap menjadi bulan penuh keajaiban bagiku. Percayalah. Sebab bersamamu, aku hadir. Bersamamu, ibuku menjadi ibu. Bersamamu, ayahku menjadi ayah. Ya, esok adalah harinya. Aku bahagia, April. Sungguh.

Sabtu, 31 Maret 2018

Nalar Bukan Lagi Lakon Melainkan Ambisi

       Pemira ditunda! Hingga besok. Besoknya lagi. Besok dan besok. Mau sampai kapan? Ada apa dengan gugatan itu? Ada apa dengan segala emosi dan ketidakterimaan kalian itu? Adakah yang kalian takutkan? Adakah praduka yang kalian tak inginkan untuk terjadi?

Amarah. Emosi. Gugatan. Tuntutan. Semuanya ada karena tidak adanya penerimaan.

Entah kepada siapa kekecewaan ini berlabuh. Hanya saja saya sangat menyayangkan hal ini harus terjadi. Ini masih Pemilihan Umum tapi kekacauan sudah tampak di mana-mana. Masih pemilihan umum, segala hal sudah diselesaikan dengan emosi, bagaimana jika sudah menjadi pemimpin nanti? Apakah segala masalah juga akan diselesaikan dengan pertikaian, teriakan, amarah dan emosi?

Jujur saya kecewa melihat segala emosi dan amarah yang tampak di gedung AULA itu. Padahal jika dipikir-pikir kita semua sama. Mahasiswa yang sama-sama mencoba berpikir dewasa.Usia antara 18 – 25 tahun, tapi itukah etika diusia itu? Amarah yang bergejolak, seperti amarah siswa SMP bahkan SD.

Sadar atau tidak kini tujuan bukanlah lagi kebaikan. Lebih dari itu semua, ada ambisi yang menyelinap. Ada hal lain yang lebih besar yang ingin direncanakan. Ada hal kotor pun akal bulus yang menjelma dalam sukma. Hasrat besar yang terpampang dalam Visi-Misi, kebaikan tak tersurat lagi. Amat besar, lebih besar dari segalanya, hal kotor tersirat dari berbagai emosi.

Hei! Kalian semua calon pemimpin, sadarlah! Kalian baru saja memperlihatkan perilaku bejat kalian. Belum di-sahkan, belum pula dilantik, perilaku tak bermoral telah tampak.

Demikian kekecewaan kami berlabuh. Tak inginkan harap jua.


Palu. Kamis, 29 Maret 2018