Waktu kecil, aku tidak pernah percaya dengan kepergian. Tak
pernah mempercayai kesendirian, tapi waktu menunjukkan itu semua.
Saat usiaku enam tahun, dengan berat hati kedua orang tuaku
menitipkan aku pada nenek untuk sekolah, sementara ayah-ibuku kembali ke
kampung halaman. Sejak saat itu aku percaya perpisahan, kepergian dan
kesendirian. Tapi sebatas itu, karena aku juga percaya akan ada perjumpaan,
akan ada temu, melepas rindu dan kembali.
Tapi waktu kembali mengenalkan aku pada hal baru. Tentang
kepergian yang hakiki, tentang kepergian tanpa perjumpaan. Tentang kepergian
tanpa temu, menyisakan rindu dan mengikis air mata. katanya itu adalah pulang
yang sejati. Kembali pulang pada-Nya.
Semula aku tak percaya, tak pernah percaya dengan kematian,
tetapi tahun demi tahun, orang-orang disekitarku beranjak pergi. Memaksaku
untuk menerima dan percaya bahwa kematian benar adanya, serta tak ada
perjumpaan setelah itu. Waktu memaksaku untuk mempercayai itu semua. Semula
kupikir terlalu kejam, bahkan aku belum sempat memikirkannya tapi telah dipaksa
untuk percaya. Waktu berkuasa atas segalanya, benar-benar tak ada ampun,
semuanya harus pergi, satu persatu, tanpa pamit.
Rasanya napasku telah habis, memagut harap untuk itu. Tak
ada, ini benar-benar nyata. Kepergian yang hakiki. Seperti itu kiranya. Karena
hidup sejatinya adalah perjalanan dan dalam perjalanan kita akan kembali pulang
pada-Nya.
Kali ini perih itu kembali. Kepergian yang hakiki itu
kembali. Menguatkan yang kuat. Mengajari yang lemah, bahwa kekuatan yang
sebenarnya adalah penerimaan.
Oma.
Parigi, Rabu 09 Mei 2018
--------------------------------------------------------------------
Selamat jalan. Selamat berpisah.
Biarkan doa dan air mata mengantarmu. Berbahagialah sebab
aku berbesar hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar