Jumat, 22 November 2019

Pertama untuk Cerita


Banyak cerita yang terjadi, membuat foto biasa ini menjadi amat berharga bagiku. Mungkin ada satu atau dua foto yang diabadikan panitia secara baik, tetapi bagiku ini tetap yang paling berharga. Sebenarnya sudah lama foto ini mengendap di memori gawai. Bahkan saya tak ingat pernah menyimpan foto ini😅. Foto ini diambil lebih dari setahun yang lalu, tepatnya 29 Januari 2018. Hari penentuan masa luar biasa dalam hidup saya.

Oke jadi alasan kenapa foto ini akhirnya diputuskan untuk diupload adalah karena sedang merindu eeaaa

Sore tadi, Tiba-tiba ada seorang adik junior sejurusan yang mendatangi saya dan langsung menanyakan perihal itu. Katanya, ia penasaran hal apa yang paling membenani saya ketika niat untuk jadi ketua, pertama kali muncul.
Sejujurnya niat itu tak pernah terbesit sedikitpun. Tak penah. Tapi karena beberapa alasan, saya pun berucap Bismillah, Saya pasti bisa. Hasna pasti bisa! Namun, satu hal yang paling membebani kala itu ialah, pertanyaan yang entah dari mana datangnya dan muncul di pikirkan saya sendiri. 
"Maukah teman-teman lelaki dipimpin oleh seorang perempuan?"
Itu yang tiba-tiba selalu terngiang di pikiran saya selama seharian proses sidang *lebaykansaya.
Bahkan yang lebih lebaynya lagi😅 saya lupa makan seharian penuh. Nanti malam setelah kegiatann barulah saya merasa lapar dan sadar bahwa belum makan sejak pagi. Astaghfirullah.

P.s. keempat orang yang dalam foto itu adalah srikandi yang juga direkomendasikan untuk menjadi bakal calon🤭

Selasa, 18 Juni 2019

Bersikap Ramahlah, Meski Orang Itu Lebih Muda Darimu

Assalamualaikum. Salam Petang.
Hai. Aku Hasna. Kali ini aku mau cerita sedikit perihal yang kulalui hari ini. Tidak banyak, hanya sepenggal muhasabah untuk diri sendiri pun untuk teman-teman jika berkenan. hehe. Jadi agenda aku hari ini sudah tersusun sejak kemarin, hingga kemarin malam pun aku sudah pamit sama Mama untuk kegiatan hari ini.
Pagi tadi, setelah sholat subuh, beres-beres rumah, bantu mama jagain bos kecil dan olahraga ringan aku pun bersiap-siap untuk berangkat menjalankan agenda hari ini.
“Eh, Na kalau sempat dan bisa, kamu cepat pulang ya.  Soalnya adikmu tadi telpon minta diantarin kain pel sama pembersihnya,” ujar mama tiba-tiba.
Aku mengkerut bingung.
“Insya Allah ya, Ma. Kan Hasna sudah bilang tadi malam, setelah servis motor Hasna mau lanjut ngajar ba’da dzuhur, sekitar jam 1 sampe sore.”
Aku menarik napas panjang, sepertinya hari ini akan terasa panjang. Sebelum berangkat ke tempat servis aku meminta STNK motor sama mama. Mama mengelak katanya dulu waktu dia pergi ke tempat servis gak dimintain STNK. Aku pun bersikeras, memaksa, sementara mama sedang memberi ASI si bos kecil. Akhirnya aku mengalah dengan mengancam, “Awas aja ya, kalau sampe dimintain, kumales bolak-balik soalnya.” ucapku sebelum akhirnya mencium tangan mama kemudian pamit.
Suasana hatiku sedang baik saat keluar rumah terlebih cuaca pagi ini juga tampak cerah. Sampai ketika aku tiba di tempat servis motor –Bye the way, motor aku itu motor apa, gak perlu kusebut ya –semuanya terasa kacau, termasuk suasana hatiku. hiks.
Saat tiba di dealer tempat aku akan servis motor, ternyata dealernya sudah buka, padahal saat itu masih pukul delapan pagi. Kata mama, saat dia ke tempat itu, mereka buka pada pukul Sembilan pagi, itulah alasan aku datang pukul delapan agar bisa lebih cepat mendaftar. Kulihat para karyawan tampak sibuk, mencek satu-persatu motor yang sudah terparkir rapi untuk diperbaiki dan ada yang tampak sudah mulai mengotak-atik motor. Aku memarkir motorku kemudian berjalan pelan, celingak-celinguk mencari orang setelah melihat ke meja pendaftaran yang tampak tak berpenghuni. Tak lama tampak bapak-bapak tinggi, agak gendut berseragam dealer tersebut mendekatiku.
“Ada apa mbak?” tanyanya.
“Mau Servis, Pak,” jawabku halus.
“Ada STNKnya?”
“Ha? STNK?” aku terkejut. Aduh mampus! mamaaaaa! keluhku dalam hati.
“Harus pakai STNK ya, Pak?” Aku masih berusaha meyakinkan dengan intonasi selembut mungkin.
“Kok Tanya saya? Tanya Polisi sana! emangnya naik motor tidak bawa STNK? jangan naik motor kalau tidak bawa STNK!” Ia membentakku keras, mungkin saja ini perasaanku. Tapi kulihat orang-orang disekitar seketika melirikku.
Aku hanya mengangguk, sambil menjawab ohh iya, Pak. Kebayangkan bagaimana perubahan suasana hatiku saat itu, Malu dan aarggghhh.
“Nda bawa STNK ya, dek?” Ia masih melanjutkan pertanyaannya. Aku hanya mampu menggeleng.
“Kenapa tidak bawa STNK? SIM juga tidak bawa?”
Aku menggeleng lagi.
Ia tersenyum mengejek, lalu kembali bertanya, “apanya yang mau diservis?”
“Mau ganti sayap depan dan spionnya, Pak.”
“Sayap depan coba tanya disebelah, ” ucapnya lagi sambil menunjuk dealer besar yang berdiri tepat disebelah tempat servis motor. Kuperhatikan dealer motor itu masih dengan hati terenyuh, merasa sakit, seperti ada yang membendung, siap meluap. ahh gadis cengeng!
Karena tak mampu lagi – tanpa pergi bertanya ke dealer sebelah – Aku berjalan menuju motorku yang terparkir, menyalakannya kemudian melaju dengan butiran tak terbendung di pipiku. Dalam pikiranku terngiang bentakkan bapak-bapak tadi. Inginku mengumpat, namun ditempat yang lain justru berucap istigfar. Aku melaju, berusaha tenang, menarik napas lebih dalam dan menentukan dengan cepat ke mana sebenarnya aku akan pergi. Akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke indekos teman, menenangkan diri.
Kurang lebih, seperti itulah sedikit perihal yang ingin kuceritakan, yang intinya aku tidak ingin menyalahkan siapapun. Bapak-bapak itu ataupun diriku sendiri yang terlalu lemah. Terlepas dari itu, muhasabah yang kudapatkan adalah bersikap ramah. Bersikap ramahlah, kepada saudara, adik, kakak, orang tua, paman, bibi, nenek, kakek, teman, rekan kerja, pelanggang, siapun itu, Meskipun orang itu lebih muda darimu. Ya, setiap orang memiliki hati yang berbeda, tingkat kelembutannya pun berbeda.Yang intinya bersikap ramah itu perlu. Tapi satu hal yang paling kupelajari. Jadilah kuat. hehe
Selamat Malam. Salam Petang.
Wassalam.

Senin, 18 Maret 2019

Mengapa

Mengapa

Aku menghitung detik
Menit seperti menghela
Seakan waktu memiliki tangan, kemudian menyapaku

Aku meniti detik
Setiap hembusan menit
Seakan waktu memiliki wajah, kemudian mengejekku

Aku menghambur pada detik
Melempar tanya pada menit
Mengapa ada temu?
Jika berpisah pada akhirnya?
Mengapa ada mengikat?
Jika melepas pada akhirnya?
Mengapa ada peduli?
Jika terserah pada akhirnya?
Mengapa ada perjuangan?
Jika merela pada akhirnya?
Mengapa ada menyayangi?
Jika memusuhi pada akhirnya?
Mengapa ada mencintai(TAI)
Jika memBENCI pada akhirnya?
Mengapa ada bersama?
Jika sendiri pada akhirnya?

Waktu,  lihatlah skenariomu
Kau biarkan aku bertaman pada temu, pada bahagia, pada keberadaan,  pada peduli, pada ikatan, pada kasih, pada cinta dan pada perpisahan.

Lihatlah kau biarkan aku mengeja rasa sakit, mengunyah pilu dan dan menelan duka. Nikmat, seperti menunggu nyawa, seberapa lama ia mampu bertahan.

Waktu, kau biarkan aku mengukir sedikit tapi banyak, seluruh rasa dalam aliran denyut nadiku.

Waktu kau biarkan aku tenggelam pada luasnya lautan kesedihan hingga nafas ini habis dan aku hanya berharap ini segera berakhir.

Waktu, aku adalah patung batu, air mata ini bukan apa-apa,  Lihat saja, akan kubalas kau!  Sembarangan membuat skenario!

Kau tahu, aku pernah punya mimpi, pernah punya harap, pernah menjadi yang paling bahagia. Pernah, waktu!
Semuanya karena kau!
Waktu, waktu, waktu!!!

Minggu, 15 Juli 2018

MUARA di Bulan JUNI - Peracik Rindu

Pagi ini, entah karena angin apa, atau mungkin karena baru saja membaca tulisan seorang teman tentang isi hati, maka dengan mudahnya pikiranku kembali bermuara pada awal mula kita mengapikkan rasa.

Sebenarnya lagi-lagi aku dihadapkan dengan perasaan tak menentu.
Sebelumnya pernah ada perasaan yang mirip seperti ini, tapi tak sebesar rasa saat ini. Kau tahu, ini berbeda. Kalau dulu,  delapan tahun yang lalu pernah ada gadis kecil yang lugu mengagumi seorang kakak kelasnya, hingga kekaguman itu tumbuh menggelisahkannya, gadis itu hanya diam memendam. Saat ini, gadis itu tak sekecil dan selugu dulu, memiliki Kekaguman yang tumbuh entah sejak kapan, yang pasti tanpa ia sadari kau hadir pada setiap detik waktu kosongnya. Menampakkan wajah dan senyum manis dipikirannya tanpa permisi. Gadis itu berani, tak diam memendam.

Kalau dulu ada gadis kecil yang lugu dengan riang menceritakan tentang perasaannya -terhadap kakak kelasnya- kepada teman-teman dan sahabatnya. Kini ada gadis tak sekecil dulu yang dengan bahagia menceritakan tentang perasaannya -terhadap seseorang yang dengan mudah merebut hatinya- kepada saudaranya sendiri.

Kalau dulu, dua tahun yang lalu ada gadis yang diam-diam mengangumi salah seorang senior di universitasnya. Kini, entah sejak kapan gadis itu tak diam meletakkan perasaannya pada salah satu temannya.

Teman. Mungkin itu kata yang tepat, tapi setelah beberapa waktu mungkinkah kata 'Teman' mendapatkan tambahan katanya?
'Teman Hidup' mungkin 😅😂 ----->SKIP<------

Kau tahu, saat itu bumi sedang diguyur hujan. Tepat pada hari pertama di bulan Juni, seperti kata Sapardi, Hujan di bulan Juni. Aku dengan wajah penuh tekukkan menyesalkan hujan harus turun sore itu. Sebab sore itu adalah waktuku untuk berbuat kebaikan dan berbagi kebahagiaan bersama teman-teman baruku, sebut saja seperti itu. Semuanya gagal karena hujan bulan Juni milik pak Sapardi.

Kau tahu, tanpa ada yang merencanakan, sore itu berakhir dengan percakapan tentang perasaan antara aku dan sahabatku. Kuceritakan tentang seseorang dan ia juga menceritakan tentang seseorang. Awalnya kami tak menyebutkan nama, tapi karena penasaran, secara bersamaan kami menyebutkan nama masing-masing orang yang kami ceritakan, dengan syarat cukup berhenti pada kami, tak ada orang lain lagi yang tahu. Maka, sore itu, bersama Hujan bulan Juni milik Kakek Sapardi, kusebutkan namamu dihadapan sahabatku, dan kudengarkan nama seseorang yang disebutkan pula oleh sahabatku. Maka, lengkaplah, semesta tahu perihal seseorang yang ternyata mengganggu pikiranku dan tanpa permisi  memasuki ruang hatiku.

Masih kuingat tawa sahabatku sejenak ketika mendengar namamu kusebutkan. Dan pada detik berikutnya, kudengar notice WhatsApp darimu. Katamu, kau ingin menyampaikan sesuatu. Kukatakan, kau menyebalkan, kau dan beberapa orang itu menyebalkan. Kenapa kukatakan seperti itu? Sebab kita sudah bercakap-cakap dalam waktu yang lama dan dipertengahan baru kau meminta izin, itu bodoh, kau tahu. Itu seperti masuk dalam rumah orang tanpa permisi, nanti setelah makan kue dan berbagi rindu dengan orang itu, barulah kau memohon izin untuk masuk ke rumahnya, apasih.

Oke next. Setelah kuizinkan, entah mengapa saat itu juga aku memiliki firasat yang aneh. Kukatakan pada sahabatku bahwa saat ini aku sedang chat denganmu, dan melihat kau sedang mengetik, membuatku secara otomatis deg-degan 😅

Selanjutnya. Seperti mendapatkan bom atom, atau rewards bombastis yang mengejutkan, aku dibuat tak berkutik dalam sekejap olehmu. Oleh tulisanmu. Sore itu, detik itu juga, dalam tulisanmu kau menyatakan perasaanmu, dengan alibi meminta maaf dan menyalahkan rasamu. Tanpa tahu, ada hati yang meloncat kegirangan melebur bersama hujan bulan Juni sore itu. Kau tak akan pernah tahu seberapa kuat dentuman bigbang di hati gadis yang dulu lugu itu.

Sore itu berakhir dengan kebimbangan. Perasaan penuh kedilemaan. Gadis itu tak pernah berhenti berpikir keras sejak sore itu. Sore milik Sapardi, Hujan di bulan Juni menjadi milik gadis itu, Muara di bulan Juni.

Jumat, 18 Mei 2018

WARNA DI JEONJU - Cerpen ke sebelas tahun 2016

WARNA DI JEONJU
Oleh: Hasna Hasanuddin

Mentari menyapu bersih sisa-sisa gerimis pagi itu, walaupun masih ada gemercik
tetes air yang jatuh menimpa genangan air dibawahnya. Tetes-tetes itu seakan bergembira
meninggalkan atap dan melompat indah membasahi tanah. Gadis itu memperbaiki posisi
duduknya. Jalan raya masih lengan di pagi hari kota seoul.
“Pak, Jeonju Hanok Village,” ucap gadis itu, sambil memperlihatkan gambar
tujuannya kali ini. Hari ini adalah hari kedua Yana berada di Seoul, Ibu kota korea selatan.
Terlalu banyak alasan yang membuat Yana harus mengunjungi negeri gingseng itu.
Ia masih sangat mengingat perpisahannya dengan adik, orang tua, dan kedua
sahabatnya di bandara dua hari yang lalu.
“Pa, nanti Aku sendiri dong di rumah, pasti sepi gak ada kakak.” Rengek adik Yana,
dua puluh menit sebelum keberangkatannya. Yana tahu, alasan sebenarnya adiknya bukanlah
karena kesepian, tetapi karena Ia juga sangat ingin mengunjungi negeri tempat aktor dan
aktris kesayangannya itu.
“nggak bisa de, kamu kan masih dalam proses pengobatan.” Jawab Yana halus, tak
ingin menyakiti hati adiknya. Berbeda dengan biasanya, Yana yang tanpa perasaan sering
menjaili dan menakut-nakuti adiknya. Hari itu perasaan itu harus dihilangkannya, kalau tidak
adiknya akan merengak untuk ikut bersamanya dan mengacaukan semuanya.
“De, kamu gak takut ke rumah sakit?” tanya Yana suatu ketika memulai aksi jailnya,
“kalau di rumah sakit itu banyak benda tajam buat orang kesakitan,” lanjut Yana memasang
ekspresi jail, seperti biasa.
Sementara adiknya hanya diam, fokus memainkan game kesukaannya.
“Apalagi suntik itu De, sakit lo, sakit banget.” Yana tak putus asa menakut-nakuti
adiknya.
“Kalau sakit, tinggal teriak aja,” Jawab adiknya enteng, membuat Yana jatuh tertawa
terpingkal-pingkal mendengar jawaban adiknya.
Sederhana, dan masuk akal. Merasa usahanya gagal dan kehabisan akal, Yana
akhirnya berhenti. Memilih menyelesaikan tugasnya yang lain.

“Na, jangan lupa kontak kita, WA, Line atau apapun,” ucap Irin, salah satu sahabat
Yana, setelah Ia berpamitan dengan adik dan kedua orang tuanya.
Yana hanya mengangguk kemudian kembali merangkul kedua sahabatnya.
“Senang-senang disana Na, lupain masalah di sini,” kali ini Tika membuka suara,
sahabat Yana yang kedua. Ia berusaha menenangkan hati sahabatnya yang ia tahu beberapa
minggu lalu patah hati.
Yana mengangguk, kemudian tersenyum. Ia melambaikan tangan, berjalan menuju
antrian pengecekan tiket dan pemeriksaan keamanan.
Perjalanan menuju kota Jeonju, provinsi Jeolla Utara (Jeollabuk-do), korea selatan,
sekitar tiga jam perjalanan dari kota Seoul. Merasa bosan dalam perjalanan, Yana
mengeluarkan notebook milikinya, membaca sedikit artikel mengenai Kota yang akan
dikunjunginya kali ini.
Setelah puas membaca beberapa artikel, Ia kemudian melihat-lihat makanan khas
yang berasal dari kota itu, Bimbimbap misalnya. Yana baru saja tiba di halaman, kebudayaan
dan kerajinan tradisional Jeonju, saat tiba-tiba mobil yang dinaiki Yana menepi. Mereka
sudah tiba di Jeonju.
Yana bergegas turun. Bibirnya tak henti-hentinya mengulum senyum melihat
pemandangan di depan matanya. Melihat rumah-rumah yang begitu mirip dengan yang
ditampilkan dalam serial drama korea yang biasa Ia nonton bersama kedua sahabatnya. Yana
segera mengeluarkan kamera Nikon yang dibawanya. Mengambil gambar sepuasnya, sambil
melangkah pelan.
Yana tak sendiri ketika tiba di Jeonju. Seorang pemandu telah menunggunya di depan
salah satu rumah hanok. Pemandu telah mengkonfirmasi tempat-tempat yang akan mereka
kunjungi, diantaranya Pungnammun Gate, Gyeonggijeon, Omokdae Pavilion, Jeonju
Hyanggyo. Selain itu, pemandu Yana juga mengatakan akan mengantar Yana mengunjungi
restauran, kedai teh tradisonal, toko souvenir dan aneka workshop Jeonju.
Yana melangkah cepat, tak sabar menemui pemandu wisatanya. Ia masih ingat
deskripsi mengenai tempat pertemuan dan detail pakaian pemandu itu.

“Hello Miss Yana?” ucap seseorang dari belakang Yana, ketika melihat Yana
celingak-celinguk mencari seseorang.
“yes, I am,” jawab Yana sedikit canggung.
Seorang pemuda tampan menyapanya. Pemuda itu memakai setelah kemeja biru
langit dan celana hitam. Mata birunya menatap Yana penuh selidik, namun sedetik kemudian
mengulum senyum.
“Arya Saputra,” pemuda itu mengulurkan tangan.
Tampan, cerdas, berwawasan sudah pasti, dan yang lebih penting Indonesia tulen
dari namanya. Pikir Yana.
“Aliyana Safitri,” Yana membalas senyum pemuda itu.
Perkenalan singkat itu berlanjut menjadi percakapan yang ringan. Arya sedikit
menjelaskan tentang dirinya bahwa Ia hanya pemuda biasa yang telah menyelesaikan
pendidikannya di BC Information Technologi, kemudian mengambil pendidikan khusus,
kursus dan mendapatkan lisensi menjadi pemandu wisata. Sesekali Arya juga bertanya
menegani Yana, pendidikan, tentang indonesia dan tujuan Yana mengunjungi Jeonju.
“Jeonju Hanok Village memiliki lebih dari 700 rumah hanok yang kebanyakan
dibangun pada masa Dinasti Joseon (1392-1910). Desa Hanok, merupakan salah satu desa
yang paling terjaga kelestariannya. Meskipun desa tradisional, Jeonju Hanok Village
memiliki transportasi dan jalan utama yang modern seperti halnya kota besar.” Jelas Arya,
Yana mengangguk mendengar penjelasan Arya sambil sesekali mengambil gambar. Ia
juga beberapa kali meminta Arya untuk mengambil gambar dirinya bersama beberapa tempat
penting.
Hingga keduanya pun tiba di bagian akhir dari Jeonju. Wisata kuliner Jeonju. Arya
dan Yana mengunjungi beberapa restoran, mencicipi kuliner khas korea dan mengunjungi
kedai teh tradisional. Yana juga menyempatkan diri untuk praktek meditasi dan etika minum
teh.
“Kamsahamnida,” ucap Yana diakhir pertemuan mereka.

“Aniyo, Tidak perlu seformal itu, santai saja, saya juga asli indonesia, salam kenal
Yana.” Ucap Arya ketika mendengar ucapan terima kasih yana.
“Permisi,” ucap yana lagi, mengulum senyum, kemudian memasuki taksi yang sama
yang Ia tumpangi tadi pagi.
Negeri gingseng itu tidak seburuk yang Yana pikirkan. Terlalu banyak kenangan
buruk, tetapi pertemuan itu seakan meluruhkan segalanya. kenangan buruk itu terlalu kecil
untuk menjadi alasan bahwa Yana tidak bahagia dalam pertemuan itu. Sebaliknya, yana
sangat bahagia. Rupanya Jeonju memberi kesan bahagia bagi Yana. Tidak hanya jeonju,
tetapi juga pemuda itu, Arya Saputra.
Pertemuan hari ini seperti gerimis pagi tadi, terlalu cepat tetapi tetap memberi bekas
di tanah menandakan bahwa gerimis baru saja turun. Ucap Yana dalam hatinya.

Kamis, 17 Mei 2018

Tragedi Kepergian


Waktu kecil, aku tidak pernah percaya dengan kepergian. Tak pernah mempercayai kesendirian, tapi waktu menunjukkan itu semua.
Saat usiaku enam tahun, dengan berat hati kedua orang tuaku menitipkan aku pada nenek untuk sekolah, sementara ayah-ibuku kembali ke kampung halaman. Sejak saat itu aku percaya perpisahan, kepergian dan kesendirian. Tapi sebatas itu, karena aku juga percaya akan ada perjumpaan, akan ada temu, melepas rindu dan kembali.

Tapi waktu kembali mengenalkan aku pada hal baru. Tentang kepergian yang hakiki, tentang kepergian tanpa perjumpaan. Tentang kepergian tanpa temu, menyisakan rindu dan mengikis air mata. katanya itu adalah pulang yang sejati. Kembali pulang pada-Nya.

Semula aku tak percaya, tak pernah percaya dengan kematian, tetapi tahun demi tahun, orang-orang disekitarku beranjak pergi. Memaksaku untuk menerima dan percaya bahwa kematian benar adanya, serta tak ada perjumpaan setelah itu. Waktu memaksaku untuk mempercayai itu semua. Semula kupikir terlalu kejam, bahkan aku belum sempat memikirkannya tapi telah dipaksa untuk percaya. Waktu berkuasa atas segalanya, benar-benar tak ada ampun, semuanya harus pergi, satu persatu, tanpa pamit.

Rasanya napasku telah habis, memagut harap untuk itu. Tak ada, ini benar-benar nyata. Kepergian yang hakiki. Seperti itu kiranya. Karena hidup sejatinya adalah perjalanan dan dalam perjalanan kita akan kembali pulang pada-Nya.

Kali ini perih itu kembali. Kepergian yang hakiki itu kembali. Menguatkan yang kuat. Mengajari yang lemah, bahwa kekuatan yang sebenarnya adalah penerimaan.

Oma.
Parigi, Rabu 09 Mei 2018
--------------------------------------------------------------------
Selamat jalan. Selamat berpisah.
Biarkan doa dan air mata mengantarmu. Berbahagialah sebab aku berbesar hati.


Selasa, 08 Mei 2018

Puisi

TAK AKAN PERNAH

Karena lama telah menjadi pantang
Dan waktu kita tak seberharga dulu
Ia telah memiliki pemiliknya masing-masing
Bahkan sekedip tak memadu lagi

Nada tak ingin bersua
Dan gurau lebih terasa berat
Katanya ini bukan apa-apa
Karena memang bukan apa-apa
Dan belum jadi apa-apa

Maka jelaslah
Hal ini tak pernah jelas sedari awal
Bahkan sebelum dimulai
Karena ini tak akan pernah dimulai
Tak akan pernah

Peracik Rindu.
Malam kelabu, kamar tidur.
22.34, Selasa, 10 April 2018
Palu.